Senin, 18 Juni 2018

2 Event Syawalan Terbesar di Kudus Yang Wajib Dukunjungi




Setiap perayaan Lebaran, masyarakat di Kabupaten Kudus memiliki perayaan Syawalan yang digelar pada H+7 Idul Fitri. Ada dua event Syawalan terbesar yang selalu digelar setiap tahun, yaitu Parade atau kirab sewu kupat dan tradisi Bulusan.


1. Sewu Kupat


Tradisi Sewu Kupat digelar di lereng Gunung Muria tepatnya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Tradisi ini digelar pada H+7 Idul Fitri.

Parade Sewu Kupat dimulai sejak tahun 2008. Meski baru digelar sembilan kali, tahun ini ke sepuluh, tradisi ini selalu ramai pengunjung. Angka sewu atau seribu adalah simbol gotong royong masyarakat di lereng Muria.

Tradisi ini dimulai dengan ziarah ke makam Sunan Muria yang dilanjutkan dengan minum air dan membasuk kaki, tangan, dan wajah, dari air yang berada di gentong peninggalan Sunan Muria.

Setelah ritual itu rampung, masyarakat lantas mengarak sebanyak 18 gunungan yang berasal dari 18 desa di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Gunungan berisi kupat dan aneka hasil bumi. Pusat keramaian berada di Taman Ria Colo.

Puncak tradisi ini adalah ketika masyarakat saling berebut isi gunungan, dilanjutkan makan bersama oleh seluruh masyarakat, pengunjung, dan pejabat yang hadir. Suasana guyub di bulan Syawal menjadi inti parade sewu kupat ini.


2. Tradisi Bulusan 



Tradisi Bulusan yang ditandai dengan kirab festival budaya digelar Jumat, 22 Juni 2018. Namun, keramaian tradisi Bulusan sudah berlangsung sejak seminggu sebelumnya.


Lokasi tradisi ini berada di Desa Sumber, Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus. Keramaian pasar malamnya mengular hingga jalur Pantura. Pemudik yang melintas di jalur Pantura timur Kabupaten Kudus wajib waspada.

Tradisi bulusan tahun ini ditandai dengan upacara pembukaan pada Kamis, 21 Juni 2018. Panitia menggelar lomba rebana se-Kabupaten Kudus, pentas seni anak, selamatan dan maulid di kompleks kolam Bulusan.

Puncaknya pada hari Jumat, akan digelar kirab festival budaya bulusan. Start kirab akan dimulai di SD 4 Hadipolo. Rombogan akan mengarak gunungan menuju kompleks kolam Bulusan.

Panitia juga akan menggelar wayang kulit, pentas budaya, dan musik akustik untuk meramaian tradisi tahunan tersebut.

Tradisi Bulusan tak lepas dari sosok Mbah Dudo, yang diyakini sebagai seorang alim cikal bakal Dusun Sumber. Banyak versi cerita ihwal asal muasal tradisi Bulusan. Menurut Sirajudin, juru kunci makam dan punden Mbah Dudo, tradisi itu tak lepas dari cerita turun temurun yang mengaitkan Mbah Dudo dan santrinya, dengan Sunan Muria.

Cerita singkatnya, Mbah Dudo memiliki dua orang santri Umara dan Umari. Pada Bulan Ramadan keduanya lembur “ndaut” mencabuti bibit padi hingga malam hari. Pada malam peringatan Nuzulul Quran, Sunan Muria datang hendak menyebarkan Islam.

Mendengar bunyi “kecipak-kecipik” Umara dan Umari yang mencabuti bibit padi, Sunan Muria pun berujar. “Malam Nuzulul Quran tidak mengaji kok malah berendam di sawah seperti bulus saja,”

Syahdan, keduanya pun berubah menjadi bulus. Melihat kejadian itu, Mbah Dudo pun datang meminta maaf atas kesalahan kedua santrinya. Sayang, semua sudah terjadi. Sunan Muria yang membawa tongkat kayu “adem ati” kemudian menancapkannya ke tanah dan muncul sumber.

Sunan pun berujar, kelak akan banyak warga keturunan yang mendatangi sumber itu untuk menghormati bulus tersebut. Sumber itu lah yang saat ini diyakini sebagai Sumber Bulusan tepat di sebelag punden Mbah Dudo.

Versi lain menyebutkan, bulus-bulus tersebut merupakan penjelmaan seorang alim dari Kerajaan Mataram bernama Subakhir (Mbah Dudo) dan pengikutnya. Mereka berubah menjadi bulus setelah Sunan Muria yang dalam sebuah perjalanan, menanyakan malam peringatan nuzulul quran bukannya mengaji malahan “kecipak-kecipik” di sawah mirip bulus.

Dari kisah turun temurun itu, Sunan Muria kembali melanjutkan perjalanan diikuti para bulus, penjelmaan Mbah Dudo dan para santrinya. Sunan beristirahat di sebuah gundukan tanah yang kini disebut warga sebagai Prasman.

Konon Sunan Muria tersenyum (bahasa lokal : mrasman) di tempat itu. Sunan kemudian melanjutkan perjalanan ke arah selatan, hingga para kura-kura berhenti sebuah wilayah perbatasan. Mereka takut melanjutkan perjalanan karena sudah melewati batas wilayah orang.

Tempat itu yang kini disebut warga sebagai Togog. Sunan pun mengajak para bulus kembali ke utara. Tiba di suatu tempat, Sunan Muria menancapkan tongkat kayu “adem ati” miliknya, hingga keluar sumber yang kini dikenal sebagai Sumber Bulusan.

Terlepas dari benar tidaknya kisah itu, warga masih setiap melestarikan tradisi Bulusan. Tak hanya menjadi ajang mempererat silaturahmi warga, Tradisi tahunan itu menjadi kegiatan bernilai ekonomi tinggi.

Selain dua event besar tersebut, banyak event lain yang digelar pada perayaan Syawalan di Kudus. Pusat-pusat keramaian antara lain Pesta Lomban di Kesambi, tradisi Ndayung di Tanjungrejo, dan kupatan di Wonosoco dan Sendang Jodoh






0 komentar:

Posting Komentar