Minggu, 11 Februari 2018

Koran Kami With Lucy In The Sky

SETELAH membaca Rex, sudah lama saya tidak membaca buku karya Bre Redana lagi. Kecuali sejumlah kolomnya setiap hari Minggu di salah satu surat kabar ternama di Indonesia yang. Kali ini saya mendapati karya terbarunya “Koran Kami With Lucy In The Sky”.


Soal gaya bahasa dan bagaimana Bre membangun alur cerita di novel terbarunya ini, tak perlu lah diperdebatkan lagi. Seperti karya-karya sebelumnya, pada buku ini setebal 194 ini pembaca dibawa larut dalam pergulatan dunia wartawan dan koran, serta tantangannya di era serba online saat ini.


Sebagai seorang wartawan senior, Bre menghidupkan SS (Santosa Santiana) sebagai karakter utamanya, dengan kutipan-kutipan yang tajam. Soal kutipan-kutipan apa saja, nanti akan ditulis hingga paragraf terakhir tulisan ini.

SS adalah seorang wartawan yang memasuki masa akhir jabatannya. Alias pensiun. Seperti layaknya wartawan yang sudah banyak makan asam garam, pensiun tak lantas diartikan off total dari dunia tulis menulis.

Selepas mengakhiri karirnya di sebuah koran besar di Indonesia, sebut saja Kompas, SS ditawari sahabatnya untuk merintis surat kabar baru. Koran Kami, begitu mereka menamai koran bikinannya.

Membangun koran cetak di zaman serba digital tentunya bukan perkara mudah. Di sini lah cerita bermula. SS mengumpulkan para veteran koran lamanya. Mayoritas antusias, namun ada yang menolak. Alasannya apalagi jika tidak mau “bunuh diri” di era digital dengan melahirkan koran cetak.

Di Koran Kami, SS bertemu dengan Lucy, seorang gadis lulusan luar negeri yang terobsesi bekerja di media massa. Jika dianalogikan sebuah media koran, SS adalah koran cetak konvensional dengan produk tulisan mendalam, detail, dan kaya informasi. sementara Luci lambang media online Zaman Now yang serba cepat, berapi-api dan cepat (cepatnya sengaja di tulis dua kali. haha).

Buku ini, seperti yang tersirat dalam Koran Kami With Lucy In The Sky ibarat memoar atau mungkin biografi perjalanan sebuah koran dari bermula berdiri hingga besar dan menghadapi tantangan baru kekinian.


Banyak diperbandingkan bagaimana cara kerja wartawan zaman old dengan wartawan zaman now. Bagaimana mereka dulu berburu dan membina hubungan narasumber, hingga kenakalan-kenalan SS muda dan rekan-rekan sejawatnya.

BACA JUGA
REVIEW BUKU : SAKYU, SPIRIT TO CLIMB
BERKENALAN DENGAN KOMUNITAS PANTOMIM KUDUS

Bagi yang suka dengan jurnalistik, atau tertarik menyelami dunia wartawan dan koran, buku ini bisa menjadi asupan bergizi di tengah tsunami informasi saat ini. Zaman memang berubah. Koran cetak mulai ditinggalkan, dan media beradaptasi untuk tetap menjaring pembacanya.

Dulu koran cetak berjaya, kemudian kedodoran diserbu kecepatan informasi berita online. Belum juga portal-portal online mencecap kejayaannya, sebagian memang sudah sih, kini mereka justru mengekor ke media sosial. Perusahaan pers pun kini berlomba-lomba menghidupkan versi digitalnya.

Sepertinya, masa depan jurnalistik setelah apa yang digembar-gemborkan sebagai senjakala koran cetak, meminjam judul tulisan Bre Redana yang lain “Inikah Senjakala Kami”, bukan lah media online, namun justru jurnalisme warga (citizen journalisme) yang pelan tapi pasti menguasai per-medsosan dan “mencuri” kue investasi iklan dari para pemodal.

Namun apakah kemudian media cetak akan hilang di masa depan? Saya termasuk orang yang yakin jika koran ke depan tetap dinantikan kehadirannya.

Nah.... ini bagian akhir tulisan ini. seperti yang sudah dijanjikan di awal, bakal ditulis kutipan-kutipan inspiratif dalam buku Koran Kami With Lucy In The Sky. Kutipan-kutipan berikut memang tidak berdiri sendiri. Untuk memahami apa maksudnya, sebaiknya segera saja cari dan baca bukunya.


Monggooooo :


Orang pensiun paling senang bicara masa lalu. Masa lalu secara subyektif dikunyah-kunyah, manis, enak, seperti permen karet. Sampai sampai kekuasaan diktator pun ada yang mengenenang : enak jamanku tho.

“Itulah bahayanya memori : ia mampu memperdayai kita. Selau sediakan ruang untuk mencurigai memori diri sendiri” (halaman 11)

Sejarah bukan sekedar kronologi kejadian. Melainkan kronologi kesadaran. Kronologi kesadaran jauh lebih utama dibandingkan urut-urutan kejadian menyangkut tanggal, tahun, peristiwa, dan lain sebagainya. Kronologi kejadian mudah diutak-atik, kalau perlu dikarang-karang. (halaman 24)

(Penulis sedang membicarakaan praktik kerja jurnalistik dimana saat ini banyak wartawan yang terjerumus menulis berita sekedar hanya merunut sebuah kronologi peristiwa semata)

Dizaman fundamentalisme ini, orang gampang percaya pada apa saja kecuali kebenaran.(halaman 31)

Hidup tak melulu terselenggara atas aturan. Ada yang namanya ketidakaturan alias Chaos – ordered chaos – agar dicapai keseimbangan. (halaman 37)

Usaha yang berhasil adalah usaha yang dilakukan tanpa keberatan menanggung beban. (halaman 44)


Bahasa bukan satu-satunya untuk berkomunikasi dan untuk dekat dengan orang. Ada misteri lain dalam komunikasi antarmanusia yang mampu mendekatkan satu orang dengan orang lainnya. Intinya : Jangan sok tahu (halaman 53)

Tak ada yang lebih luar biasa daripada realitas biasa sehari-hari yang menjadi luar biasa (halaman 90)

Kebenaran makin sulit dicari pada yang dimaknai fakta. ketika fakta sakit, fiksi obatnya... (halaman 113)

Industri kreatif di kota-kota kreatif dunia selalu diawali manusia yang punya waktu kumpul-kumpul, reriuangan (halaman 123)

Mabuk bir orang jadi jujur, mabuk agama orang jadi pembohong (halaman 131)


kita butuh retorika. Tanpa retorika manusia menjadi hampa. Meski pura-pura, orang yang butuh zat yang bisa menentramkan (halaman 153)

Yang agak memperpanjang jejak manusia hanya kenangan (halaman 177)

Informasi seperti udara. Seperti udara pula ia kemudian tak mengenal gravitasi, tak lagi membumi. Karena kenyataan sebenarnya berada di alam (halaman 185)


Judul Buku Koran Kami With Lucy In The Sky 
Penulis Bre Redana 
Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 
Tebal 194 halaman 
Tahun terbit November 2017



11 komentar:

  1. Asyik nih topik nya dunia jurnalistik...Save dulu deh

    BalasHapus
  2. Kalau saya memang sependapat, suatu saat koran atau media konvensioanal akan memudar. Seandainya adapun mungkin hanya segelintir. Media online kini lebih banyak diminati dan dicari.
    Soal kualitas berita atau wartawan? ah kini banyak wartawan mencari bahan berita lewat media sosial, mereka lebih asek duduk didepan komputer daripada terjun kelapangan. Lihat saja semisal televisi, lebih sering menanyangkan kabar dari media sosial dan youtube.
    Harga bukunya berapa ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas. Btw Harga buku 65.000.

      Hapus
    2. Setuju nih, saya juga kebetulan kenal beberapa wartawan lokal, dan urusan nyari berita? Diem di kafe yang ada wifi, searching deh berita2 terbaru....hihi

      Hapus
  3. Media online begitu renyah bak kacang goreng
    Yang pasti persaingan ketat dengan media koran (media zaman bapakku)

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang jelas media online pun harus berhati-hati jika menulis berita. Apalagi ada UU ITE. semua media massa ada tantangannya sendiri-sendiri.

      Hapus
  4. Yap! Citizen jurnalism lebih populer sekarang. Bayangkan saja,beberapa kasus viral justru berasal dari olah gambar dan olah kata masyarakat. Upload di media populer seperti youtube, langsung deh viral...

    Justru ini yang bahaya, karena citizen jurnalism itu bebas, belum ada aturan ataupun kode etik, sehingga walaupun misal, berita yang di upload itu merupakan sebuah kebenaran, tapi ada kaidah-kaidah tertentu yang dilanggar...terutama fokus pada kaidah jurnalisme...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo citizen jurnalis justru lebih maut ancamannya mas kl membuat kesalahan. UU ITE menanti. salam kenal

      Hapus
  5. untuk mengatasi itu koran telah mengembangkan sayapnya ke dunia online, maka tak jarang kita temukan setiap berita pasti yang menulis berita itu dari koran-koran yang selama ini kita baca

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul pak. semua usaha memang harus terus beradaptasi jika tidak mau ditinggalkan konsumennya. salam kenal pak

      Hapus