Minggu, 28 April 2019

Olahraga dan “Obat” Kurusuhan Etnis




Kisah Dibalik Legenda Bulutangkis PB Djarum terangkum dalam empat buku ini


OLAHRAGA tak sekedar membahas atlet dan prestasi. Lebih dari itu, olahraga menjadi alat untuk mempersatukan bangsa. Tahun 1995, Afrika Selatan menghapus sejarah kelam apartheid lewat olahraga rugbi.

Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela saat itu mencari cara bagaimana menyatukan bangsanya yang terpecah belah akibat sistem apartheid. Ia melihat momentum piala dunia rugbi menjadi solusi untuk meredam ketegangan rasial pasca-apartheid

Terbukti saat Springboks, tim uni Afrika dan Inggris akhirnya memenangi piala dunia rugbi, semua warga Afrika Selatan larut dalam kegembiraan, hingga melupakan luka akibat ketegangan rasial yang pernah terjadi.

Kisah yang hampir mirip terjadi di Indonesia. Di tengah ketegangan rasial tahun 1998, tim Thomas Cup yang dimotori Hariyanto Arbi, Joko Suprianto, Ricky Subagja, Rexy Mainaky, Hendrawan, Marleve Mainaky, Indra Wijaya, Toni Gunawan, Candra Wijaya, dan Sigit Budiarto bertolak ke Hongkong, 11 Mei 1998, sehari sebelum demonstrasi menuntut Suharto mundur sebagai presiden.

Demonstrasi itu melebar menjadi kerusuhan rasial dengan yang menyasar etnis Tionghoa. Kondisi itu menggoyahkan mental para atlet. Begitu juga dirasakan Tim Uber Cup yang dimotori Susy Sunsati, Mia Audina, Meuilawati, Ellen Angelina, Eliza Nathanael, Deyana Lomban, Zelin Resiana, dan Indarti Isolina.

Kapten tim Alan Budi Kusuma panik karena mendengar informasi rumah orang tua istrinya, Susy Susanti, di Tasikmalaya menjadi sasaran amuk masa. Jaminan keamanan dari TNI membuat mereka kembali termotivasi.

Thomas Cup diraih, tim Uber Cup menjadi runner up. Keberhasilan Indonesia mempertahankan Thomas Cup membahagiakan masyarakat di Tanah Air. Kisah kelam Olahraga dan kerusuhan rasial yang menimpa atlet bulu tangkis itu ditulis Bonnie Triyana dan tim risetnya dalam buku Setengah Abad PB Djarum, Dari Kudus Menjadi Prestasi Dunia.

Buku itu diluncurkan bersama tiga buku lainnya, Minggu (28/4) sore, menandai usia setengah abad klub bulu tangkis yang bermarkas di Kota Keretek. Tiga buku lainnya yakni “Butet Legenda Sejati” karya mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini menjabat Dewan Penasehat PBSI Hamid Awaludin, “Kiprah Ahsan- Hendra” dan “Jejak Langkah Owi-Butet” karya jurnalis senior Daryadi.

Buku “Setengah Abad PB Djarum Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia” menelusuri dan mengurai cerita seputar awal terbentuknya PB Djarum. Kelahiran klub ini bermula dari brak (area kerja) Bitingan Lama di dalam gedung yang pada siang harinya merupakan pabrik karyawan pelinting rokok PT Djarum bekerja.

Lahirnya PB Djarum tak lepas dari kegemaran Robert Budi Hartono bermain bulutangkis bersama para karyawannya. “Mulanya karyawan Djarum main bulutangkis untuk kebugaran. Tidak ada pelatihan atau program khusus,” kata Robert Budi Hartono dalam buku itu.

Kegiatan olahraga bulutangkis sore-sore ini ternyata diminati para karyawan dan masyarakat sekitar. Pada 1969 Robert Budi Hartono, Goei Poo Thay, Bambang Hartono, Margono dan Thomas Budi Santoso sepakat mendirikan klub bulutangkis yang dinamai PB Djarum dan mulai membina pemain dari luar.

Hamid Awaludin dalam bukunya berkisah tentang perjuangan Liliyana Natsir menjadi pebulutangkis tingkat dunia dengan sederet prestasinya. Mantan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia tersebut menceritakan secara detil perjalanan karier Butet dari kota kelahirannya di Manado, Sulawesi Utara hingga kemudian semakin bersinar.

Liliyana Natsir membubuhkan tanda tangan
“Jejak-jejak remajanya memang mungkin tidak mengandung romantisme elok untuk dirinya, tetapi ia memberi romantisme heroik bagi bangsanya: Indonesia,” tulis Hamid.

Dipasangkan sebagai Ganda Campuran bersama Tontowi Ahmad, Butet berhasil mengharumkan dunia bulutangkis Indonesia lewat turnamen-turnamen bergengsi dunia, yakni juara All England 2012, 2013, dan 2014 serta Olimpiade Rio 2016.

Liliyana mengungkapkan testimoni bagaimana dia menyukai bermain berpasangan sebagai ganda campuran senior Indonesia ini dalam berbagai hal: kerja kerasnya dalam meraih prestasi dan terutama karena keduanya menampilkan wajah sejati Indonesia di mata dunia. Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir adalah padu-padan Indonesia dalam arti sebenar-benarnya.

Kiprah Butet ini juga menjadi bagian dalam buku berjudul “Jejak Langkah Owi-Butet” karya Daryadi, jurnalis senior yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Bulutangkis. Dalam buku yang sama, kisah Tontowi Ahmad juga dikupas sejak masa kecilnya di Desa Selandaka, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas hingga kemudian berpasangan dengan Butet dan meraih berbagai prestasi.

Buku terakhir, “Kiprah Hendra – Ahsan” yang juga ditulis oleh Daryadi mengangkat kerja keras duet berjuluk ‘The Daddies’ dalam meniti tangga juara. Keduanya digambarkan sebagai contoh sukses dari perjuangan keras seorang atlet yang ingin mewujudkan impiannya.

Kesuksesan menjadi pebulutangkis hebat yang menjadi kebanggaan tidak hanya untuk dirinya, keluarga dan Indonesia. “Cucuran keringat dan tetesan air mata adalah saksi bisu yang mengiringi perjalanan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan menjadi atlet bulutangkis yang sukses,” tulis Daryadi.

Program Director Bakti Olahraga Djarum Foundation Yoppy Rosimin menuturkan, peluncuran empat buku pada peringatan 50 tahun PB Djarum ini menjadi bagian upaya mendokumentasikan sejarah bulutangkis Indonesia.

Bersama Bonnie Triyana dari Historia.id 
Di dalamnya ada berbagai catatan sejarah perjalanan dan kerja keras untuk mewujudkan prestasi bagi Indonesia melalui bulutangkis. Yoppy berharap dalam rangkaian HUT ke 50 PB Djarum, keempat buku ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi bagi para atlet, pelatih, dan masyarakat.





0 komentar:

Posting Komentar