Minggu, 19 Mei 2019

Di Mana Jejak Bekas Sujud Itu?

masjid tanpa sujud anis sholeh baasyin


MENURUT kalian, apa itu sujud? Menempatkan kepala di tempat terendah (tanah) untuk menyembah yang Esa? Lantas, di mana jejaknya?

Pertanyaan demi pertanyaan ini mengusik akal sehat hingga memaksa untuk memaknai arti sebenarnya tentang sujud. Kelompok teater Gerak 11 mengajak penonton “mencari” makna sujud dalam pementasan lakon “Masjid Tanpa Sujud” di Gedung O FKIP Universitas Muria Kudus (UMK), Sabtu (18/5) malam.

Naskah “berat” karya Habib Anis Sholeh Ba’asyin terasa semakin berat karena dialog penuh pertanyaan yang setiap jawabannya, melahirkan kembali pertanyaan : Apa makna sujud?

Berkutat pada dua tokoh utama yang diperankan Luluk Karima dan Kholizul Azizi, lakon Masjid Tanpa Sujud melakukan pencairan makna sujud sejati. Kehadiran dua tokoh bernama sama, Abdullah, menggiring penonton memaknai sujud.

Abdullah yang satu, mengaku datang dari timur hendak ke barat, sementaa Abdullah yang lain datang dari barat hendak ke timur. Keduanya membawa benang merah makna sujud.

Dengan sering bersujud penuh kesadaran, akan mengantar manusia menjadi tawadhu’. Menjadikan manusia sebagai sosok yang rendah hati. Namun sayang, konsep sujud itu justru seakan dilupakan dalam berperadaban.

Orang-orang justru sibuk membuat kelompok dan “tenda-tenda” di dalam masjid. Satu sama lain saling mengagungkan diri dan kelompoknya. Mengecilkan yang lain. Menyalahkan kelompok yang lain.

Inilah yang kerap menjadi sumber kekacauan. Sebab, sejak awal orang kerap gagal bersujud. Ia bersujud kepada selain Allah. Sujudnya lebih pada remeh-temeh kepentingan duniawi.

Bukankah semua yang terhampar ini adalah masjid?Pantaskah berjalan di dalam masjid dengan beralas kaki?

“Seandainya orang bodoh atau tidak berilmu tidak berbicara, tentulah tidak ada kekacauan. Namun yang terjadi justru banyak orang yang tidak punya ilmu justru sering berbicara dengan keras,” kata tokoh Abdullah.

Tak salah Sutradara Sutrimo Astrada “memaksakan” Masjid Tanpa Sujud ini dipentaskan di Bulan Ramadan. Meski baru lima minggu mengakrabi naskah, Sutrimo menilai pesan naskah ini tepat disuguhkan di bulan Ramadan.

Momentum Ramadan, dinilai menjadi saat yang tepat untuk kembali mendalami nilai-nilai agama. “Memang masih banyak kekurangan dalam pementasan ini. Akan kami perbaiki di pementasan selanjutnya,” katanya.

Kelompok tetater PMII Kudus itu menyuguhkan tata panggung yang sederhana. Kain putih berbingkai warna hitam mendominasi di latar belakang. Pohon dengan ranting mengering diapit oleh bebatuan besar di tengah panggung.

“Kain warna putih kami maknai sebagai kesuciaan atau kelahiran, yang kemudian menjadi gersang (disimbolkan pohon dengan ranting mengering – Red),” katanya.

Pementasan dibuka dan ditutup oleh penampilan kelompok seni terbangan dan penari sufi. Selawat asnawiyah di akhir pementasan seolah mengajak penonton mendoakan bangsa agar tetap aman di tengah karut marut akibat tensi politik yang memanas belakangan ini.,

Kelompok teater Gerak 11 berencana mementaskan lakon ini di lima kota. Pati dan Jogjakarta telah dipilih. Tiga kota lainnya masih digodok. “Kami ingin mementaskan naskah ini di Pati, sebab Habib Anis berasal dari Pati. Kami ingin mendengar respons penonton di sana,” katanya.





.

0 komentar:

Posting Komentar