Sabtu, 20 Juli 2019

Kisah Hidup Setelah Koma


SELALU ada kelanjutan setelah tanda koma. Begitu juga dengan kisah hidup penyair asal Kudus Jumari HS. Banyak pusinya yang lahir setelah mengalami koma, dalam arti sebenarnya. Di usianya yang sudah menginjak 54 tahun, Jumari tetap produktif menulis.

Setelah menyusun puisi-puisinya yang berserakan di media massa dalam “Tembang Temba-kau” (2008), “Tentang jejak yang Hilang” (2016), dan “Panorama Senja” (2018), tahun ini pria yang bekerja sebagai buruh salah satu perusahaan rokok besar di Kudus kembali menerbitkan “Pijar Api  Zikir Puisi

Buku puisi terbaru Jumari HS itu menjadi salah satu buku yang paling banyak dicari di event Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XI di Kudus, bulan lalu. Pijar Api Zikir Puisi ini secara resmi baru akan diluncurkan berbarengan dengan peringatan hari lahir Jumari November nanti.

Namun pada PPN XI lalu, Pijar Api Zikir Puisi banyak dicari oleh penyair dari berbagai pelosok Nusantara yang hadir. Pijar Api Zikir Puisi banyak bercerita sisi spiritual Jumari setelah mengalami koma karena kondisi kesehatan yang memburuk, 2011 lalu.

Buku Puisi itu disunting oleh penyair asal Madura, Mahwi Air Tawar. Pijar Api Zikir Puisi memiliki makna dalam bagi Jumari. Pijar Api menyimbolkan semangat atau harapan hidup yang terus menyala dalam bentuk ranah estetika puisi. Zikir puisi merupakan gambaran perjalanan spiritual kehidupan yang dia alami.

Dalam buku setebal 110 halaman itu, Jumari memang banyak mengumbar hubungan kehidupannya dengan Tuhan. Dalam “Sembahyang di Bebatuan” misalnya, Jumari menulis //Aku sembahyang di bebatuan/Sembilan puuh sembilan kerikil tasbihku/larut dalam tahmid sampai membayang kematian/dalam hembusan angin kebahagiaan//

Dia melanjutkan //Aku sembahyang di bebatuan/bayangkan diri rumput : pasrah pada angin, pada cuaca, nafasku menjelma daun, diterbangkan takdir//

Pijar Api Zikir Puisi ini menjadi refleksi Jumari atas perjalanan dan perjumpaan-perjumpaan hidupnya dengan banyak peristiwa. Baik itu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dirinya, di sekitarnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Produktif dalam menulis, Jumari mengaku tak ada tips khusus menulis puisi atau formula khusus dalam menerjemahkan imajinasinya dalam bentuk puisi. Tidak ada pola khusus dalam menyusun setiap bait. Setiap kata dalam puisinya mencerminkan letupan spontanitas Jumari dalam mengekspresikan apa yang dia rasakan.

Dalam menulis, Jumari tak mau terbelenggu dengan teori-teori puisi, atau pola-pola penulisan yang ada. Baginya, puisi lahir karena menuangkan kejujuran apa yang dia alami. “Hari-hari saya adalah puisi. Hampir setiap hari saya menemukan ide untuk ditulis menjadi puisi. Modal dalam menulis puisi bagi saya adalah kejujuran,” katanya suatu ketika.

Karena saban hari berpuisi, Jumari dengan enteng menulis tentang Tuhan, hubungannya dengan tuhan, cinta dalam arti sebenarnya, kemudian melompat menyinggung solidaritas sesama manusia saat terjadi gempa bumi, hingga menyinggung soal matematika. Ya.. Matematika yang soal ilmu berhitung itu. 

Dalam “Belajar Matematika” Jumari menulis //Belajar matematika/angka demi angka aku hitung/temukan nilainya/dan dalam angka demi angka/aku tak menemukan dosa//

Bisa jadi, puisi di atas menyindir orang yang pandai berhitung, namun ujung-ujungnya kepandaiannya itu untuk mencari angka-angka yang menguntungkannya (baca : korupsi).

Bagi kamu yang baru suka puisi, atau suka membaca puisi dengan diksi dan narasi yang tidak njlimet, puisi-puisi Jumari HS saya rekomendasikan.





0 komentar:

Posting Komentar