Jumat, 02 Agustus 2019

Anjas Sang “Hefaistos” dan Mimpinya di Amerika

anjas omonganem.com


HEFAISTOS dalam mitologi Yunani dikenal sebagai dewa teknologi. Putra Zeus dan Hera itu adalah dewa yang (maaf) pincang. Tapi, perannya sangat penting sebagai “arsitek” persejataan bagi para dewa.

Sosok Heafaistos itu lah yang dikagumi seorang Anjas Pramono Sukamto. Seorang difabel berprestasi asli Kudus yang telah menciptakan lima aplikasi. Hebatnya, lima aplikasi yang dibuatnya untuk memudahkan sesama difabel itu memenangi kompetisi internasional. Prestasinya sudah banyak diliput oleh media. Kisah hidupnya sangat inspiratif.

Tak berlebihan jika Anjas mengidolakan Hefaitos. Bukan semata karena mereka berdua difabel. Pria 22 tahun yang masih tercatat sebagai mahasiswa semester VII Teknik Informatika Universitas Brawijaya Malang itu juga menggemari hal-hal yang berbau teknologi informasi.

Itu lah alasannya ia menggunakan nama Hefaistoo untuk akun Instagramnya. “Hefaitos, dewa teknologi menginspirasi saya untuk menunjukkan jika penyandang disabilitas juga bisa berbuat lebih,” katanya.

Saya bertemu anjas dua kali, sebelum belakangan ia sibuk “roadshow” bertemu sejumlah menteri. Lewat akun Instagramnya, Anjas memamerkan pertemuannya dengan Menpora Imam Nahrawi, Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, dan Menkominfo Rudiantara.

Melihat segala kelebihannya, layak jika Anjas diundang Gus Deddy Corbuzier untuk acara talkshow Hitam Putih.

Kali pertama saya bertemu Anjas saat dia hadir di acara Jagong Pelataran yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Kudus, Rabu 24 Juli 2019 malam. Di hadapan Bupati Kudus HM Tamzil, yang dua hari kemudian kena OTT KPK itu, Anjas berbicara lantang menyuarakan hak-hak difabel pada fasilitas pedestrian di Kota Kudus.

Kamis siangnya, saya kembali bertemu dia di cafe Susu Muria. Di depan awak media yang mengundangnya untuk berwawancara, Anjas kritis menyoroti kebijakan publik terkait hak-hak penyandang disabilitas di tanah kelahirannya.

Belakangan saya tahu, daya kritisnya terasah di organisasi PMII di Malang. Ia kini didaulat menjadi ketua PMII Brawijaya.

Pada pertemuan kedua ini, ia panjang lebar menceritakan lima aplikasi yang dibuatnya, termasuk rencananya ke negeri Paman Sam untuk mengikuti kuliah intensif atas undangan Pemerintah Amerika, September nanti.

Ia terlihat serius menyiapkan diri mengikuti Youth South East Asian Leadres Initiative (YSEALI) di Amerika. Proposal proyek sosial Anjas yang mengangkat tema Gusjigang menarik perhatian Kedutaan Amerika yang mewawancarainya via Skype.

Gusjigang yakni akronim Bagus, Ngaji dan Berdagang, warisan Sunan Kudus. Ia menyisihkan ribuan pendaftar. Tahun ini, hanya ada tiga mahasiswa dari Indonesia yang lolos seleksi.

Anjas akan mengikuti kuliah intensif selama sekitar dua bulan di Amerika. Rencananya, ia akan terbang ke Amerika, September nanti. Di sana, ia akan berdiskusi dengan profesor untuk memperdalam proyek sosialnya tentang Gusjigang.

Ia adalah satu-satunya peserta difabel, dari tiga peserta yang lolos seleksi. Dua mahasiswa lainnya berasal dari Padang dan Madura.

YSEALI merupakan program pertukaran pelajar ke Amerika dengan tujuan menjaring pemimpin-pemimpin muda dari negara ASEAN. Melalui program ini, peserta berkesempatan kuliah secara intensif dan berdiskusi dengan profesor di kampus tujuan untuk memperdalam proyek sosialnya, selama kurang lebih dua bulan. Seluruh biaya ditanggung oleh Pemerintah Amerika.

Anjas adalah bukti bahwa penyandang disabilitas mampu menembus batas dan bersaing dengan pelajar normal lainnya. Sulung dua bersaudara pasangan Sukamto (46) dan Sri Susilowati (43), ini terlahir normal layaknya bayi pada umumnya.

Kecurigaan ada yang “tidak beres” di tubuh Anjas bermula karena seringnya ia mengalami patah tulang di bagian kaki. “Setiap jatuh tulang kaki saya patah, bahkan kesetrum listrik juga patah,” katanya.

Setelah berobat ke banyak dokter, jawaban “kelainan” di tubuh Anjas diketahui saat berobat ke Bandung. Ia didiagnosa menderita penyakit langka Osteo Genesis Imperfecta atau kerapuhan tulang.

Sejak kelas III sekolah dasar insiden patah tulang semakin sering, hingga membuat kedua kakinya tidak bisa tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Sejak itu, ia membutuhkan alat bantu untuk bisa berjalan.

Tuhan maha Adil. Kakinya memang rapuh. Tapi ia mendapat anugerah kecerdasan lebih. “Saat lulus SD nilai saya rata-rata sembilan. Nilai matematika saya sepuluh,” katanya.

Ditolak Sekolah

Meski “berotak encer”, warga Desa Besito, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus ini pernah ditolak saat masuk salah satu SMP Negeri di Gebog. Alasannya, sekolah tidak memiliki guru pendamping khusus. Fasilitas sekolah untuk murid difabel pun belum ada.

Ngotot masuk dan akhirnya diterima, cobaan Anjas berlanjut saat duduk di bangku SMP. “Bully-an hampir setiap hari saya rasakan, hingga saya benar-benar drop dan mental saya jatuh,” katanya.

Jika SMP adalah cobaan berat, kondisi sebaliknya dialaminya saat masuk di SMA. Karena ia merasakan beratnya sekolah di kampung, ia pun meminta orang tuanya untuk mendaftarkannya ke SMA 2 Kudus.

Di situlah titik balik kehidupannya bermula. Ia bertemu dengan guru-guru yang sangat peduli. Bahkan, sekolah membuatkannya jalur khusus penyandang disabilitas tuna daksa. Rekan-rekan di sekolahnya pun memberi dukungan positif.

Padahal niat awalnya memilih masuk ke SMA 2 selain untuk menghindari bully-an, juga karena ada kelas unggulan Fisika yang diampu Johanes Surya di SMA itu. “Ternyata saya diberi kemudahan lebih oleh Allah,” katanya.

Bakat akademik Anjas pun terus terasah. Berbagai prestasi perlombaan ia sabet. Lulus SMA, ia diterima di UB Malang dari jalur pendaftar difabel. Pilihannya masuk Teknik Informatika tak salah.

Hingga semester VII Anjas telah menyabet prestasi internasional lewat lima aplikasi berbasis android yang dibuatnya. Lima aplikasi untuk difabel yang dibuatnya yakni Aplikasi bahasa insyarat “Difodeaf” yang dibuatnya menyabet medali emas di sebuah kompetisi di Malaysia, “Locable” untuk memudahkan difabel memantau lokasi-lokasi yang ramah bagi penyandang disabilitas, dan “Jubilitas” yakni aplikasi jual beli khusus untuk difabel.

Ia juga membuat aplikasi guru ngaji dan aplikasi transportasi untuk memantau pergerakan moda transportasi umum. Kelima aplikasi itu menyabet penghargaan di kompetisi internasional.

Proyek sosial tentang Gus Ji Gang diinisasi untuk memberdayakan para santri. Ia telah berdiskusi dengan pemangku kebijakan di lingkungan Pemkab Kudus. Anjas berharap proyek sosial ini membutuhkan dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah lokal di Kudus.

“Di zaman ini, semuanya lebih mudah jika ada kolaborasi. Kolaborasi kunci penting untuk kesuksesan di zaman teknologi ini,” ujarnya sebelum menyeruput kopi, kemudan pamit ke kamar kecil.

Ia pun beranjak dari tempat duduknya. Meraih dua kruk yang disandarkan di tembok persis di belakangnya, dan beranjak ke kamar kecil untuk menunaikan hajatnya.




2 komentar:

  1. Selalu ada kelebihan di balik kekurangannya. Allah memang maha Adil. Prestasinya luar biasa ya, bisa sampe ke amerika bertemu professor... Ini bisa menjadi pecutan buat kita agar tetap terus semangat dan jangan mudah menyerah dengan keadaan

    BalasHapus
  2. Keren banget dan sangat menginspirasi, di balik kekurangannya terdapat kelebihan yang bahkan lebih baik dari orang-orang biasa.

    BalasHapus