Kamis, 27 September 2018

Kisah Halif, Bocah Kampung Ikuti Jejak Liliyana Natsir




BADMINTON adalah olahraga yang murah?! Tergantung dari mana anda melihatnya. Jika sekedar main tampel-tampelan di depan rumah, bisa jadi bulu tangkis olahraga yang murah meriah. Tapi jika untuk tujuan prestasi, silakan siapkan kalkulator anda. 


Mari berhitung mulai dari kebutuhan sepatu badminton, jersey, hingga raket badminton, harganya cukup menguras kantong. Beli yang murah-murah bisa saja. Tapi umumnya umurnya tak akan lama. Boros juga jatuhnya. Belum lagi untuk biaya les ke klub dengan pelatih yang bagus. Duit lagi.

Latihan saja pun belum cukup. Untuk menguji sampai mana hasil latihan, atlet harus diuji. Caranya dengan ikut turnamen. Untungnya kota seperti Kudus, turnamen digelar rutin. Setahun ada hingga lima kali turnamen berskala besar.

Tapi turnamen lokal saja belum cukup. Untuk benar-benar menguji kemampuan sang atlet, turnamen di luar kota adalah jawabannya. Lagi-lagi keluar duit. Untuk biaya transportasi, akomodasi, hingga hal-hal tak terduga. Belum lagi mereka harus mengorbankan jam sekolahnya.

Apalagi setiap turnamen digelar tiga hingga empat hari. Jika mampu melaju sampai final, siap-siap saja menguras tabungan. Mahalnya bulu tangkis penulis lihat saat digelarnya audisi umum beasiswa bulu tangkis yang digelar oleh Perkumpulan Bulu Tangksi (PB) Djarum.

Ribuan atlet berpartisipasi. Tepatnya sebanyak 5.957 atlet cilik. Mereka datang dari berbagai daerah di penjuru Tanah Air. Dari Aceh sampai Papua. Tentu ongkos yang tak murah untuk terbang ke Kota Kudus, markas besar PB Djarum.

Namun, selalu saja ada tangan-tangan ajaib di balik mahalnya pembinaan bulu tangkis. Salah satu buktinya adalahh atlet sembilan tahun, Halifia Usni Pratiwi. Dia satu-satunya atlet asal Kudus yang mampu membuktikan bulu tangkis bukan monopoli keluarga berduit.

...

Rumah sederhana tak jauh dari Balai Desa Sadang, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus itu belum dindingnya masih telanjang. Tembok rumah masih berupa bata merah, lantai juga belum dikeramik. Kursi ruang tamu juga seadanya.

Di bagian depan rumah, ada sebuah toko kelontong. Dari toko itu lah Dwi Anggraini (31) membantu dapur keluarga tetap ngebul. Sementara Usodo (41), bekerja di sebuah pabrik rokok terbesar di Kudus. Statusnya masih karyawan harian.

Dwi dan Usodo punya mimpi besar. Menjadikan Halif seorang atlet bulu tangkis sarat pestasi.

Dari upahnya bekerja, Usodo memang bisa saja membelikan sepatu dan raket mahal. Namun itu bukan keputusan bijak. Sebab dengan pilihan itu, ia harus mengorbankan kebutuhan wajib sehari-hari istri dan ketiga anaknya.

Halif (kanan) bersama kedua orang tua dan dua adiknya

Usodo tak mengira Halif bakal moncer sebagai atlet cilik bulu tangkis. Sejak TK, anak sulungnya itu memang sudah menunjukkan minatnya pada olahraga yang membesarkan nama seperti Kevin Sanjaya, Anthony Sinisuka Ginting, Jonathan Cristie, hingga legenda seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi dan adiknya Hariyanto Arbi.

Namun, Halif masih angin-anginan. Kadang-kadang suka, kadang-kadang lupa. Untuk menyalurkan minat anaknya, Usodo membelikan raket murah. Karena tangan Halif masih mungil, Usodo pun mengepras batang raket dengan pisau agar pas di genggaman anaknya itu.

Semula hanya tampel-tampelan di halaman rumah. Usodo memasang net - jangan bayangkan net ala lapangan sebenarnya - di halaman rumahnya. Ia juga kerap mengajak Halif lari keliling kampung untuk melatih fisik putrinya itu.

Di ruang tamu, Usodo memasang shuttlecock yang diikat dengan tali senar ke langit-langit rumahnya. Tujuannya agar Halif bisa tetap berlatih di malam hari atau saat musim hujan tiba. Dengan diikat, kok otomatis akan balik jika ditampel.

Dengan cara itu, Usodo bisa menghemat keringat saat melatih anaknya. Tak hanya Halif, dua anak lainnya kini juga ikut tampel menampel kok yang diikat di langit-langit rumahnya itu. Hobi bocah kelas IV sekolah dasar itu belakangan menulari dua adiknya.

Minat Halif semakin menjadi saat masuk sekolah dasar. Ketika ada siaran langsung pertandingan bulu tangkis, Halif merengek minta ditemani menonton. Apalagi jika yang sedang bertanding Liliyana Natsir, atlet idolanya.

Tengah malam pun gadis cilik itu pasti melek. Betah menonton lesehan di depan televisi. Demi mirip dengan idolanya, Halif selalu memangkas pendek rambutnya. Nge-fans berat, mungkin itu istilah cocoknya.

Atas saran rekan-rekan Usodo, Halif pun didaftarkan ke klub bulu tangkis. Usodo memilih PB Muria yang biayanya terjangkau. Bakat Halif tercium pemilik PB Efrance Kudus, salah satu klub bulu tangkis terpandang di Kudus.

Sang pemilik ingin Halif bergabung. Untuk meyakinkan Usodo, Sulaiman, nama pemilik PB Efrance menjamin kebutuhan Halif seperti raket, sepatu, hingga tambahan asupan gizi. Halif tinggal datang dan berlatih dengan pelatih di PB Efrance.

Skill Halif berkembang pesat. Namun, keluarga Usodo justru panen cibiran dari tetangganya. “Bulu tangkis hanya untuk orang kaya” “Anak kampung susah lah bersaing di bulu tangkis” “Mau jadi apa anak cewek kok latihan bulu tangkis” dan lain-lain dan sebagainya. Sederet ujaran itu sudah kenyang di telinga Usodo.

Halif sempat mogok latihan. Dwi lah yang terus membesarkan hati Usodo dan Halif. Instingnya sebagai ibu cukup kuat melihat potensi dan keinginan anaknya. Tak salah, Halif mulai mengukir prestasi. Satu demi satu gelar kejuaraan lokal diraihnya.

2017, Halif mendaftar audisi umum beasiswa bulu tangkis di PB Djarum. baru tahap screening, dia gagal. Setahun kemudian, Halif kembali mengadu peruntungannya. Pemilik Efrance menyarankan Halif ikut audisi di Surabaya.

Skenarionya jika gagal di Surabaya, Halif masih bisa ikut audisi di Kudus. Mininal dia punya pengalaman merasakan atmosfer ketatnya persaingan audisi. Tak dinyana, Halif lolos audisi di Surabaya.

Di saat Halif berjuang untuk super tiket audisi di Surabaya, Usodo sempat galau berat. Pemicunya, ia mendapat kabar kakaknya meninggal dunia. Kabar itu tak disampaikan ke Halif hingga pengumuman audisi. “Takut mengganggu konsentrasinya. Dia dan pamannya cukup dekat,” kenang Usodo.

Tahun ini sepertinya menjadi milik Halif. Lolos di Surabaya, jalannya menuju PB Djarum, klub yang diidam-idamkan atlet cilik se-Indonesia, terbuka lebar untuk dirinya. Di hari terakhir final audisi di Kudus, namanya diumumkan menjadi salah satu penerima beasiswa.

Perjuangan Halif tak main-main. Dari total sebanyak 5.957 atlet cilik yang ikut audisi, hanya sebanyak 22 anak yang diterima. Halif satu-satunya atlet cilik dari Kudus. Lolos audisi bukan lah jaminan dia bakal menjadi atlet berprestasi.

Halif harus mampu giat berlatih agar kemampuannya terus berkembang. Usodo sadar PB Djarum memulangkan atlet-atletnya yang susah berkembang. Doa Usodo sederhanya. Sebagai oranag tua, ia ingin melihat Halif sukses di bulu tangkis. Olah raga yang disukainya. Seperti suksesnya Liliyana Natsir, atlet yang dibesarkan PB Djarum. Atlet yang diidolakan Halif.




0 komentar:

Posting Komentar