Selasa, 18 September 2018

Monumen di Kudus Ini Jadi Bukti Kegigihan Pejuang Perempuan



Di Kabupaten Kudus ada sebuah monumen yang menjadi bukti kegigihan pejuang perempuan dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Monumen Komando Muria namanya. Lokasinya berada di Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.


Kelompok pejuang perempuan itu berperan besar pada gerakan gerilya melawan penjajah Belanda di lereng Muria, 69 tahun lalu. Para "Srikandi" itu berperang gerilya bersama pasukan laki-laki bentukan Mayor Kusmanto.

Selain istri Mayor Kusmanto, sederet nama pejuang wanita yang bergabung di laskar perempuan pimpinan Mayor Kusmanto itu antara lain Maryati, Minthok, Sri Muawatun, Sutinah, Ayu Suparti. Ada juga banyak pejuang perempuan yang tak dikenal namanya.

Mereka berjuang mempertahakankan kemerdekaan Indonesia saat agresi militer Belanda II.

Para pejuang perempuan itu datang ke markas Komando Daerah Muria tak selayaknya ibu-ibu yang hendak rapat PKK atau arisan RT. Mereka maju ke medan perang tanpa modal uang, tidak tahu apakah mereka bisa pulang ke rumah lagi atau tidak.

Monumen Komando Macan Putih dibangun seorang kontraktor proyek Jalan, di bekas lahan markas Mayor Kusmanto, tahun 1970-an. Monumen itu berbentuk gunungan dengan relief kepala macan dan diorama para pejuang.

Di bagian belakang, ada semacam lemari tanam berpintu besi. Sebutan macan putih tak lepas dari mitos warga Lereng Muria yang meyakini pasukan Mayor Kusmanto berjuang diikuti sosok macan putih.

Di tempat itu, Mayor Kusmanto merancang perang gerilya. Mereka melakukan pengadangan, penyerangaan, dan perebutan logistik milik Belanda. Lokasi markas tidak luas. Bahkan sengaja dibuat tersembunyi di tengah perkampungan. Tujuannya untuk mengelabuhi pasukan Belanda.

Meski lambat laun, intelejen Belanda mencium keberadaan markas itu dan melakukan penyerangan. Sayangnya, monumen itu tak pernah tersentuh perhatian pemerintah. Hingga kini hanya masyarakat yang melakukan pembersihan dan pengecatan tembok secara mandiri. Kondisi bangunan monumen pun sudah tua, rapuh dan rawan rusak.

Menurut Kepala Desa Glagah Kulon Sukarwi, lahan lokasi monumen sudah berstatus banda desa. “Melihat potensi dan nilai sejarahnya, monumen ini layak dikembangkan menjadi wisata edukasi. Kami tengah menggagas Badan Usaha Milik Desa yang ke depan dimaksudkan untuk mengembangkan potensi desa seperti pariwisata,” katanya.


2 komentar:

  1. Patut ditiru untuk kota lain, pembangunan monumen untuk mengenang jasa pahlawan.
    Idenya juga bagus untuk dikembangkan jadi obyek wisata.

    BalasHapus
  2. Wah unik juga ya bentuk monumennya, seperti singa gitu ya.
    Seharusnya bisa mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, apalagi yang sifatnya sejarah seperti ini :(

    BalasHapus