Rabu, 19 Desember 2018

Aku Pun Asing di Kampung Sendiri


Omonganem Yang Asing di Kampung Sendiri

MERASA sudah jauh menginjakkan kaki ke berbagai kota? Merasa paham seluk beluk kampung orang? Tapi tiba-tiba merasa asing dengan kampung sendiri. Pernah? Saya juga.

Karena itu ketika dikabari buku “Yang Asing di Kampung Sendiri” akan diterbitkan, saya pun memesan ke salah satu penulisnya. Saya merasa perlu mengajak teman-teman Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Kudus untuk membedahnya.

Bukan karena beberapa penulisnya adalah kenalan saya, yang kebetulan anggota PWI juga, namun jalan “prosa jurnalisme” yang dipilih para penulisnya membuat saya perlu membuat forum khusus untuk membedahnya.

Yang Asing di Kampung Sendiri adalah buku antolologi reportase bergenre prosa jurnalisme tentang Kudus. Buku ini hasil gotong royong sembilan orang penulis. Buku setebal 222 halaman ini menyajikan sebanyak 12 tulisan, plus satu “curhat” panjang editornya.

Yang menarik meski memilih gaya bahasa feature, jurnalisme sastrawi, atau yang mereka lebih enjoy memilih menyebut prosa jurnalisme, tidak semua penulisnya memiliki latar belakang jurnalis (wartawan).

Saya termasuk yang mengamini “quote” : Jurnalisme bukan hanya monopoli wartawan saja. Karena itu saya merasa perlu membaca buku ini. Apalagi secara visual, menurut saya, sampul buku ini berhasil membuat penasaran pembacanya.

Pemilihan judul antologi “Yang Asing di Kampung Sendiri” semakin menguatkan pembacanya untuk sesegera menyelami apa saja yang asing di Kudus. Bagi orang yang lahir, besar, dan sekarang mencari nafkah di Kudus seperti saya, buku ini masuk dalam daftar wajib baca.

Dari 12 judul di buku itu, tulisan “Hikayat Sebuah Desa di Dalam Desa” paling menarik perhatian saya. Tulisan itu lah yang pertama saya baca. Sebelas tulisan lainnya saya pilih baca belakangan. Sebab, tema sebelas tulisan lainnya sudah banyak ditulis. Termasuk saia.

Tulisan itu berkisah tentang Desa Medini, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus. Konon, desa itu memiliki saudara kembar. Desa Medini secara administrasi ikut dalam pemerintahan Desa Gabus, Wirosari, Kabupaten Grobogan.

Sampai di sini, langsung saya sambar hape, buka browser, mengetikkan kata kunci desa Gabus, Wirosari, Kabupaten Grobogan. Bagi saya yang pernah setahun kerja di Grobogan, penyebutan Desa Gabus Wirosari cukup janggal.

Internet membantu saya mengingat-ingat lagi memori periode 2008-2009, saat saya kerap “ngaspal” di kabupaten terluas di Jawa Tengah, setelah Cilacap itu. Desa Gabus dan Wirosari memang ada. Tapi itu di dua kecamatan berbeda. Desa Gabus ikut Kecamatan Gabus, sementara Desa Wirosari, Kecamatan Wirosari. Kedua kecamatan memang berdekatan.

Saya melanjutkan membaca kata per kata, membuka lembar per lembar hikayat Desa Medini. Tapi hingga titik terakhir tulisan itu, pelan-pelan saya mulai menutup buku. Menenggak segelas air putih. Akhirnya menyadari ekspektasi saya terlalu tinggi.

Masih banyak yang perlu dijawab dari hikayat tersebut. Tapi tidak perlu lagi saya panjang-panjang menguliti tulisan itu. Toh masih ada sebelas tulisan lagi. Buka buku, menjelajahi lagi yang asing di kampung sendiri.

Omonganem Yang Asing di Kampung Sendiri

Bedah buku “Yang Asing di Kampung Sendiri” digelar PWI Kabupaten Kudus, Selasa (18 Desember 2018). Hadir sejumlah penulisnya. Salah satunya Islakhul Muttaqin. Dia lah yang menulis Hikayat Sebuah Desa di Dalam Desa.

Islah mengaku hanya punya waktu tiga hari untuk membuatnya. Mulai terjun ke lapangan, reportase, hingga menuliskannya. HEBAAT..! Waktu yang singkat untuk tulisan sepanjang 21 halaman.

Secara keseluruhan, antologi ini cukup berani karena mengibarkan bendera prosa jurnalisme dengan latar belakang penulisnya yang sebagian masih minim pengalaman liputan di lapangan.

Saya pun membayangkan bagaimana Afthonul Afif, sebagai editornya, bekerja keras di depan monitor, menata kata per kata, sehingga buku ini menjadi enak dibaca. SALUT buat mas editornya....!

Dia sendiri membutuhkan kerja keras untuk mengedit tulisan para kontributor buku itu. Setelah terbit pun, banyak kritikan dan masukan yang dialamatkan kepada penulisnya, maupun dirinya secara langsung.

“Kepada penulisnya saya selalu bilang. Masukan, kritikan menunjukkan karya kita dibaca. Diperhatikan. Ini bagus untuk kelanjutan proses penulisan kreatif berikutnya,” katanya.

BACA JUGA :

Sakyu, The Spirit To Climb
Koran Kami With Lucy in The Sky


Menurut Mas Afif, buku ini bernasib baik. Ia membandingkan buku lain yang dieditnya. Ditulis oleh orang-orang dengan segudang pengalaman penelitian dengan latar belakang pendidikan oke, namun setelah rilis, ternyata kurang diminati.

Beda dengan buku yang setahun dieditnya itu. Dicetak 300-an eksemplar, sudah laku 200-an eksemplar saat masih hangat-hangatnya dari mesin percetakan. Bisa jadi karena literasi tentang Kudus yang masih terbatas. Apalagi yang ditulis dengan gaya prosa jurnalisme.

Meski begitu, ia mengakui masih banyak pertanyaan karena tulisan yang belum tuntas. Tapi menurutnya, tulisan yang baik itu yang justru membuat pembacanya penasaran, bertanya-tanya. Bahkan hingga mampu tergugah hingga “melanjutkan” tulisan yang dinilai kurang sempurna itu. Oke. Mashooook Mas...!

Omonganem Yang Asing di Kampung Sendiri

MALU sebenarnya saya menulis sepanjang ini. Lebih tepatnya buku ini membuat saya iri. Hampir sepuluh tahun kerja jadi buruh media, belum satu pun judul buku yang ada nama saya sebagai penulisnya. Sementara kawan-kawan lain seangkatan sudah melahirkan novel, cerpen dan lainnya.

Saya jadi teringat tantangan membuat buku tentang sejarah organisasi keagamaan di Kudus. Tantangan itu saya iyakan saja. Tapi sejujurnya, saya belum tau harus mulai dari mana, mengajak siapa saja. Saya hanya bisa membatin. Bismillah.....





0 komentar:

Posting Komentar