Senin, 07 September 2020

“Menambang” Gas dari Limbah Tahu


LIMBAH tahu membuat warga RT 1 RW 1 Dukuh Krajan, Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus tak tahu berapa harga gas elpiji melon terkini. Ketika ramai-ramai berita gas bersubsidi langka, api kompor mereka tetap lancar menyala.

Mereka tak pernah merasakan antre hingga berebut gas “melon”. Saban hari, gas mengalir dari instalasi pengelolahan limbah tahu melalui jaringan pipa paralon. Sepuluh tahun terakhir, warga menikmati api biogas dari pengolahan limbah pabrik tahu di daerah itu.

Siti Khotijah (60), warga Dukuh Krajan misalnya. Ia tak perlu memusingkan kenaikan harga atau kelangkaan elpiji bersubdisi. Sepanjang pabrik tahu persis di sebelah rumahnya masih berporoduksi, gas lancar mengalir ke rumah warga.

Itu artinya, ia bisa menghemat pengeluaran keluarga. Coba kita hitung. Harga elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram (tabung gas melon) saat ini di kisaran Rp 20 ribu per tabung. Taruhlan setiap rumah butuh dua tabung sebulan.

Lewat biogas limbah tahu ini, warga pun bisa menghemat hingga Rp 40 ribu per bulan. Angka yang lumayan bagi warga berpenghasilan rendah. Tinggal hitung berapa penghematan warga selama sepuluh tahun terakhir.

Gas ramah lingkungan ini pun aman. Tinggal buka keran pengaman yang terpasang di jaringan pipa, kemudian nyalakan api dengan pemantik (korek api). Api biru pun langsung menyala dari kompor. Selesai memasak, api kompor tinggal dimatikan. Keran ditutup lagi. Selesai. Sesederhana itu. 

Produksi tahu

Suripno, pengelola pabrik tahu menyebutkan ada sebanyak 23 rumah warga yang menikmati aliran api biogas limbah tahu. Aliran gas itu dipriotitaskan untuk warga kurang mampu di sekitar pabrik.

Mereka cukup membayar iuran sebesar Rp 5 ribu per bulan. Uang yang terkumpul itu digunakan untuk perawatan jaringan pipa biogas. Jika ada kerusakan pipa misalnya. Warga bergotong royong melakukan perbaikan. Jika ada yang perlu diganti, biaya diambilkan dari uang iuran itu.

“Sejauh ini aman. Gas mengalir lancar sepanjang pabrik berpoduksi. Hanya saja, warga melaporkan jika kompor cepat rusak, keropos, dibandingkan jika menggunakan elpiji dari pemerintah. Ini yang masih menjadi PR kami,” katanya.

Secara teori, limbah tahu mengandung sejumlah unsur gas seperti metana (CH4), amonia (NH3), hydrogen sulfide (H2S), dan karbondioksida (CO2). Limbah tahu difermentasikan selama satu hingga dua pekan untuk menghasilkan gas metana.

Setelah gas metana keluar, kemudian dialirkan melalui pipa dari instalasi Ipal ke kompor warga.

Instalasi pengolahan limbah pabrik tahu
Instalasi pengolahan limbah pabrik tahu

Selain “menambang” gas dari limbah tahu, melalui pengolahan ini juga mampu mengurangi dampak pencemaran lingkungan. Sebelum adanya Ipal, kenang Suripno, air limbah dari pabrik tahu langsung digelontor dan dibuang ke sungai.

Sungai pun tercemar. Bau busuk mengganggu warga. Pemilik pabrik tergugah mengolah limbah tahu setelah mendapat tawaran pembangunan instalasi dari pemerintah daerah. Melalui pengolahan itu, dampak kerusakan lingkungan pun disulap menjadi gas yang bermanfaat bagi warga.

Instalasi dibangun persis di sebelah barat bangunan pabrik. Dari instalasi itu, jaringan pipa untuk menyalurkan gas dipasang ke rumah-rumah warga penerima. Tak hanya mampu menghasilkan energi terbarukan gratis untuk warga, instalasi itu juga mengurangi dampak lingkungan limbah pabrik tahu yang sebelumnya selalu panen keluhan warga.

Instalasi pengolahan limbah pabrik tahu itu merupakan bantuan pemerintah daerah pada tahun 2010 lalu

Data kantor Perumahan Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Kabupaten Kudus menyebutkan, ada sebanyak 37 titik IPAL biogas yang telah dibangun sejak tahun 2000. 

Selain Ipal biogas pabrik tahu, juga ada ipal untuk ternak dan pondok pesantren. Program pembangunan Ipal dimaksudkan agar warga mampu menghasilkan energi secara mandiri. Pencemaran lingkungan pun bisa ditekan.

 


0 komentar:

Posting Komentar