Selasa, 19 November 2019

Ada Pengantin Baru Dibalik Pelestarian Cagar Budaya Indonesia di Loram


NILAI-nilai kearifan lokal yang terus dilestarikan menjadi benteng terakhir pelestarian situs cagar budaya di Indonesia. Tanpa adanya pelestarian tradisi dari masyarakat sekitar, orang akan semakin abai pada keberadaan bangunan bersejarah di lingkungannya.

Upaya pelestarian benda cagar budaya dengan pelestarian tradisi kearifan lokal ini dipahami betul oleh warga Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Berkat tradisi turun temurun yang terus dipegang teguh, keberadaan situs gapura masjid Loram kini terus lestari.

Uniknya, ada pengantin baru dibalik pelestarian situs tersebut. Kok Bisa?

Menikah bagi warga Desa Loram Kulon tak cukup hanya dengan prosesi akad dan pesta akbar. Ada ritual yang pantang untuk ditinggalkan. Namanya “Nganten Mubeng”. Tradisi ini turun temurun dilestarikan oleh warga Desa Loram Kulon.

Nganten dalam bahasa Indonesia berarti pengantin. Pasangan muda-mudi yang baru mengikrarkan janji sehidup semati. Mubeng berarti berkeliling. Singkatnya, nganten mubeng berarti tradisi yang dilakukan oleh pengantin baru dengan berjalan berkeliling.

Apa yang dikelilingi?

Saya berjumpa dengan pasangan pengantin baru Linda Agustin (23) dan Budi Santoso (26), saat berkunjung ke gapura masjid Loram, akhir Agustus 2019. Siang itu, mereka datang ke gapura masjid Wali untuk bersiap-siap menunaikan tradisi Nganten Mubeng.

Simak pengalaman tak terlupakan mereka berikut ini :

Siang itu cuaca panas terik. Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Empat jam sebelumnya, Budi mengucapkan akad suci untuk mempersunting Linda di depan penghulu. Budi tinggal bersama keluarganya di Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati. Sementara Linda berdomisili di Desa Sunggingan, Kecamatan Kota.

Usai akad nikah dinyatakan sah, ayah Budi mengingatkan tradisi turun-temurun keluarganya yang berasal dari Loram Kulon. Ya, Nganten Mubeng.

Setelah urusan prosesi akad rampung, tetamu beranjak pulang, Budi dan Linda ditemani keluarganya meluncur ke Masjid At Taqwa Desa Loram Kulon. Gaun putih tebal membuat Linda terlihat kegerahan. Keringat mengucur dari keningnya.

Meski panas siang itu terasa menyiksa, Linda menuruti suaminya untuk menjalani tradisi nganten mubeng. Digandeng Budi, Linda berjalan mengelilingi gapura kuno yang berada persis di depan Masjid Loram Kulon, sebutan beken dengan sebutan masjid wali. Nama resminya Masjid At Taqwa.

Dipandu Afroh Aminuddin, juru pelihara gapura kuno, keduanya berjalan mengitari gapura bata merahyang berdiri gagah di depaan masjid. Satu kali putaran rampung, keduanya kemudian berfoto mengabadikan hari bersejarah itu.

“Alhamdulillah lancar,” kata Budi sembari tersenyum kepada keluarganya yang menjadi saksi ritual tersebut.
Nganten mubeng adalah tradisi berjalan mengitari gapura kuno di depan Masjid Wali Loram Kulon yang masih lestari hingga kini. Tradisi itu dijalani oleh pasangan pengantin baru warga maupun keturunan dari Desa Loram Kulon.

Meski, Linda dan Budi bukan warga asli Loram Kulon, keduanya memegang teguh tradisi nenek motang. Jika dirunut, kakek Budi asli Loram Kulon. Memiliki darah dari penduduk desa itu, Budi pun tak ingin meninggalkan tradisi leluhurnya.

Afroh Aminuddin membenarkan jika tidak hanya pasangan asli Loram Kulon saja yang masih menjalani tradisi ini. Banyak keturunan warga yang kini tinggal di luar desa maupun luar daerah yang tetap menjalankannya.

Baru-baru ini bahkan ada pasangan dari Purwokerto yang datang dengan menyewa bus, khusus untuk menjalani tradisi ini. Setelah ditanya, salah satu di antaranya masih keturunan warga Desa Loram Kulon.

Banyak mitos yang berkembang. Jika warga keturunan Loram Kulon tidak menjalani ritual ini. Mulai dari keluarganya tidak tentram, terkena penyakit aneh, hingga sulit mempunyai keturunan. Afroh enggan mengomentari mitos yang berkembang itu.

Terlepas itu mitos atau bagaimana, dia menyerahkan sepenuhnya pada niat masing-masing yang menjalaninya. “Yang penting niatnya baik,” kata Afroh.

Tradisi nganten mubeng tetap dilestarikan selain karena tradisi warisan leluhur, juga diyakini memiliki nilai-nilai moral yang baik. Tradisi itu menanamkan pentingnya kesetiaan dan peran suami sebagai pemimpin keluarga. Itu disimbolkan dengan menggandeng pasangannya keliling gapura.

Tradisi itu diyakini sudah ada sejak era Sultan Hadlirin, seorang wali atau tokoh agama yang menyebarkan Islam di wilayah Loram Kulon. Menurut catatan, gapura itu dibangun tahun 1596. Setahun kemudian, masjid di sebalah barat gapura dibangun.
Wisatawan berfoto dengan latar belakang gapura masjid wali Loram Kulon
Pembangunan gapura yang lebih dulu, menjadi siasat Sultan Hadlirin dalam menyebarkan Islam di wilayah yang mayoritas warganya saat itu memeluk agama Hindu. Sekilas, gapura itu bentuknya mirip dengan pura. Itu lah sebabnya, Islam dulu lebih mudah diterima di kawasan tersebut.

Gapura Masjid Wali At Taqwa kini sudah tercatat sebagai situs benda cagar budaya yang dilindungi undang-undang. Desa Loram juga telah ditetapkan menjadi desa wisata oleh Pemkab Kudus.

Situs gapura tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dengan keputusan Balai Pelestarian peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BP3) Jateng Nomor 988/102.SP/BP3/P.IX/2005 Tanggal 22 September 2005. Keputusan itu diteken oleh Kepala BP3 Jawa Tengah Drs Enjat Jaenuderajat

Meski telah dipugar tahun 1996, arsitektur bangunan gapura tetap dipertahankan. Sayang, bangunan Masjid Wali kini sudah tidak lagi sebagaimana bentuk aslinya. Bangunan masjid dipugar dengan bentuk arsitektur yang modern tahun 1990.

Tak hanya Nganten Mubeng, warga menempatkan situs gapura sebagai peninggalan penting lewat sejumlah kegiatan tradisi tahunan. Tradisi ampyang yang diperingati bersamaan dengan maulid (hari kelahiran) Nabi Muhammad SAW juga dipusatkan di halaman Masjid At Taqwa.

Pada acara tahunan itu, ampyang dan sego kepel menjadi menu wajib. Ampang adalah penganan semacam kerupuk. Sementara sego kepel adalah nasi seukuran gengaman tangan orang dewasa yang dibungkus dengan daun pisang. Sebagai pelengkap biasanya disajikan bothok tahu dan daging kerbau sebagai lauknya.

Sebagai desa wisata, situs gapura menjadi pijakan utama dalam pengembangan pariwisata yang dibalut dengan atraksi tradisi. Warga melahirkan kembali pasar krempyeng, pasar kaget yang digelar halaman masjid persis di sebelah timur situs gapura.

Pasar Kaget biasanya digelar saat ada kunjungan wisatawan dalam jumlah besar, atau event tahunan seperti kirab ampyang maulid. Di pasar itu dijual aneka kerajinan produk UMKM warga Loram Kulon hingga kuliner khasnya.

Warga juga membuka pintu rumahnya untuk dijadikan homestay wisatawan yang hendak menginap. Warga Loram Kulon sepertinya paham betul dengan merawat situs cagar budaya melalui ritual tradisi kearifan lokal, maka peninggalan bersejarah itu tak akan musnah. Tetap lestari hingga anak cucu.
Warga berebut sego kepel pada tradisi kirab ampyang maulid di Desa Loram Kulon
Pelestarian cagar budaya idealnya harus sejalan seiring dengan kegiatan ekonomi kreatif warga sekitar. Ekonomi kreatif perlu dimunculkan, dengan bersandar pada situs cagar budaya sebagai pemantiknya.

Dengan memiliki kegiatan ekonomi, warga secara langsung atau tidak akan berperan melestarikan situs cagar budaya.

Loram menjadi contoh keberadaan situs bersejarah mampu mengangkat nama desa. Kegiatan produktif yang digeluti oleh warga juga ikut terangkat.

Generasi muda yang dekat dengan teknologi, gadget, dan media sosial juga penting untuk andil dalam pelestarian cagar budaya di lingkungannya. Rajin mengunggah foto situs dengan ajakan untuk mengaga kelestariannya menjadi hal termudah yang bisa dilakukan.

Bagi yang hobi menulis, menuliskan cerita saat berkunjung ke situs cagar budaya sekligus mencurahkan gagasannya juga menjadi cara yang elegan.

Salah satunya lewat kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah! yang digelar oleh Komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), didukung oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).




0 komentar:

Posting Komentar